JAM-Pidum Menyetujui 6 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Penyerobotan Lahan di Bitung

JAM-Pidum Menyetujui 6 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Penyerobotan Lahan di Bitung

PUSAT PENERANGAN HUKUM KEJAKSAAN AGUNG

Jl. Sultan Hasanuddin Nomor 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

 

SIARAN PERS

Nomor: PR – 465/002/K.3/Kph.3/06/2025

 

 

JAM-Pidum Menyetujui 6 Restorative Justice,

Salah Satunya Perkara Penyerobotan Lahan

di Bitung

 

 

Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 6 (enam) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin, 2 Juni 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Simon Rarungkuan dari Kejaksaan Negeri Bitung yang disangka melanggar Pasal 167 Ayat (1) KUHP tentang Penyerobotan Lahan.

Bahwa Tersangka melakukan tindak pidana penyerobotan lahan tersebut dengan cara Saksi Korban yang membeli objek tanah dari Tersangka pada tanggal 23 September 2024. Namun setelah jual beli rumah tersebut, Saksi Korban belum dapat menguasai atau tinggal di rumah tersebut karena Tersangka yang tinggal di samping rumah milik Saksi Korban sudah lebih menguasai rumah dengan cara masuk karena memiliki akses kunci rumah.

Lalu, menguasai rumah tersebut dan tinggal di dalamnya karena Tersangka tidak mengizinkan Saksi Korban menguasai rumah walaupun sudah menjadi milik Saksi Korban. Hal itu tidak menjadi pertimbangan Tersangka meskipun Saksi Korban telah mengirimkan surat somasi sebanyak 3 kali kepada Tersangka yakni pada tanggal 10 Desember 2024, 16 Desember 2024 dan 20 Desember 2024.

Surat somasi tersebut pada intinya menyatakan bahwa rumah tersebut adalah milik Saksi Korban dan meminta Tersangka agar mau meninggalkan rumah tersebut, namun Tersangka tidak mau mengindahkan surat somasi yang dikirimkan oleh Saksi Korban.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Bitung, Dr. Yadyn, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Erly Andika Wurara, S.H. serta Jaksa Fasilitator Arif Salasa, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Bitung mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara Dr. Andi Muhammad Taufik, S.H., M.H., CGCAE.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 2 Juni 2025.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 5 (lima) perkara lain yaitu:

  1. Tersangka Kudrat Hamdani alias Kodrat dari Kejaksaan Negeri Kepulauan Morotai, yang disangka melanggar Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
  2. Tersangka Rezha Vilfort Rumagit dari Kejaksaan Negeri Tomohon, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  3. Tersangka Nur Hadi dari Kejaksaan Negeri Denpasar, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
  4. Tersangka Chandra Hamenda alias Ko Chandra dari Kejaksaan Negeri Bitung, yang disangka melanggar Pasal 80 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
  5. Tersangka Nal Prison Pgl Inal bin Binu Rusdi dari Kejaksaan Negeri Sijunjung, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

  • Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
  • Tersangka belum pernah dihukum;
  • Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
  • Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
  • Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
  • Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
  • Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
  • Pertimbangan sosiologis;
  • Masyarakat merespon positif.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.  

 

 

Jakarta, 2Juni 2025

KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM

 

 

Dr. HARLI SIREGAR, S.H., M.Hum.

Keterangan lebih lanjut dapat menghubungi 

M. Irwan Datuiding, S.H., M.H. / Kabid Media dan Kehumasan 

Dr. Andrie Wahyu Setiawan, S.H., S.Sos., M.H. / Kasubid Kehumasan

Hp. 081272507936

Email: humas.puspenkum@kejaksaan.go.id

 

 

 

 

 

Bagikan tautan ini

Mendengarkan